BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS »

Jumat, 30 Desember 2011

Dan aku terjaga

Rindu itu dimulai dari sini; detik pertama setelah sambungan telpon terputus. Asal kau tahu, suaramu yang serak itu seperti bekas coklat yang menggantung manis di sudut bibir. Ketika kujilat lagi, sensasi phenylethylamine-nya masih saja merangsang dopamine menjadi penguasa dalam tubuh. Akibatnya tidak ada rasa lain yang bisa menangguhkan hadirnya rasa gembira.
Namun malam ini sampailah aku pada sebuah pertanyaan yang sama seperti sebelum-sebelumnya; “Kenapa harus ada masa yang biasa dalam sebuah prosesi?”. Seperti ritual yang hambar, seperti kualitas yang terbelenggu kuantitas, seperti kata yang kubidik menjadi prosa, seperti mereka yang selalu kuakhiri dengan narasi. Mungkinkah kita kehilangan kesakralan bahasa yang begitu alami?
 
But you’re my dearest part of my life. I’m so in love with you. 

Ketika tulisan itu kuakhiri, gerimis melumat hawa panas dari sisi-sisi jalan beraspal. Lalu aku duduk di bawah jendela dengan segelas Vanilla Latte, menunggu suaramu meramaikan sudut-sudut hati. No messages or anything

Selamat tidur, semoga lelahmu pergi dengan santun.

HOME






I met someone.

Online.

 
Sebut saja dia Kelinci. Aku tidak benar-benar mengenalnya dalam kehidupan nyata, karena kami baru beberapa hari bersama dalam perjumpaan pertama setelah hari Natal yang lalu.Belum terlalu banyak aku ketahui tentang dia, aku hanya tau dia tak kalah tinggi dengan mantanku, berwajah Oriental dan aku menyukai kulitnya yang berwarna pucat seperti  kulit orang-orang Jepang .  Barangkali belum, karena suatu hari (barangkali) akan dan benar-benar mengenalnya. Itupun bila alam memberiku kesempatan.Tetapi sejauh ini dia sangat menyenangkan.

 Aku ingat pertama kali kami terkoneksi, dia meninggalkan komentar pada puisi saya, “Sudah lama saya tidak melihat gaya majas seperti ini, jadi kangen sekali, dan sangat kreatif. Jadi tertarik banyak belajar di sini”. Setelah itu, entah bagaimana caranya kami bisa berkomunikasi lebih baik dari sebelumnya. Aku lupa. Tiba-tiba saja kami seperti teman yang sudah lama saling kenal. Tak ada hal serius memang. Hal yang benar-benar serius, maksudku. Paling-paling yang kami bicarakan menyangkut apa yang sedang kami kerjakan saat itu. Sisanya, kami gunakan untuk membicarakan landak, kelinci, anjing, kucing, kura-kura, dan hewan lainnya alias percakapan-percakapan amat sangat tidak penting.


Dia seorang dokter, menginjak 32 tahun. Beragama Kristen. Dia menulis di blog dengan baik. Sangat produktif menulis. Menggunakan Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris dengan santun. Dan aku pikir, semua orang akan senang membaca tulisan-tulisannya. Termasuk aku.


Aku membaca tulisannya tiap kali aku online, saking banyaknya tulisan yang belum aku baca. Tapi, tak apa, bisa aku jadikan menu sarapan, makan siang atau makan malam jiwa.Hee... Aku susuri semakin jauh tulisan-tulisannya. Aku temukan banyak momentum. Aku dihadapkan pada realitas-realitas masa lalu juga kekinian. Dan masuk dalam rumah imajiner yang dia bangun, ibarat menaiki mesin waktu. Kita akan dibawa kemana saja kita suka. Itulah kenapa aku suka berlama-lama membaca tulisan-tulisannya. Dia bertutur dengan lugas dan jujur. Dia mengakui apa saja yang dirasakannya. Dan aku pikir dia obat terbaik bagi dirinya sendiri.


Kemarin, pagi-pagi aku menangis. Saat itu kami sedang ngobrol via e-mail seperti biasanya. Aku mendadak memikirkan banyak hal. Aku takut. Ya, Aku takut. Aku takut semua ini berhenti tiba-tiba. Seperti hari-hari kemarin. Seperti orang-orang kemarin. Seperti mereka yang mengaku sahabat, teman, saudara, juga kekasih, tetapi menusukku dari belakang dan memfitnahku kemana-mana, bahkan mengkhianatiku. Aku takut, dia tak lagi menyapaku sebelum aku bangun pagi. Aku takut kami tidak bisa bercanda lagi seperti biasanya. 


Dan ditengah-tengah ketakutan aku yang tidak dia ketahui itu, tiba-tiba dia bertanya pada saya “Are you really okay?”. Ya, aku benar-benar sedang tidak cukup baik. Aku sedang berlinang air mata. Aku ketakutan. Dan dia satu-satunya orang yang tau sebelum aku mengatakannya. Tapi, aku tidak menjawab. Sampai akhirnya aku mengatakan yang sebenarnya meski tidak dengan alasan yang jelas. Seharian setelah itu, sepanjang hari, kami ngobrol tidak lagi lewat e-mail tetapi lewat sms, sampai aku tertidur. Dan sampai aku menulis ini. Dia masih menyapa aku sebelum aku bangun pagi. Kami masih bercanda. Dia menelponku. Dan semuanya baik-baik saja. 


Dia.. seperti rumah untuk jiwa.