Rindu itu dimulai dari sini; detik pertama setelah
sambungan telpon terputus. Asal kau tahu, suaramu yang serak itu seperti
bekas coklat yang menggantung manis di sudut bibir. Ketika kujilat
lagi, sensasi phenylethylamine-nya masih saja merangsang dopamine
menjadi penguasa dalam tubuh. Akibatnya tidak ada rasa lain yang bisa
menangguhkan hadirnya rasa gembira.
Namun malam ini sampailah aku pada sebuah pertanyaan yang
sama seperti sebelum-sebelumnya; “Kenapa harus ada masa yang biasa
dalam sebuah prosesi?”. Seperti ritual yang hambar, seperti kualitas
yang terbelenggu kuantitas, seperti kata yang kubidik menjadi prosa,
seperti mereka yang selalu kuakhiri dengan narasi. Mungkinkah kita
kehilangan kesakralan bahasa yang begitu alami?
But you’re my dearest part of my life. I’m so in love with you.
Ketika tulisan itu kuakhiri, gerimis melumat hawa panas dari
sisi-sisi jalan beraspal. Lalu aku duduk di bawah jendela dengan segelas
Vanilla Latte, menunggu suaramu meramaikan sudut-sudut hati. No messages or anything.
Selamat tidur, semoga lelahmu pergi dengan santun.
0 komentar:
Posting Komentar