I met someone.
Online.
Sebut saja dia Kelinci. Aku tidak benar-benar mengenalnya dalam
kehidupan nyata, karena kami baru beberapa hari bersama dalam perjumpaan pertama setelah hari Natal yang lalu.Belum terlalu banyak aku ketahui tentang dia, aku hanya tau dia tak kalah tinggi dengan mantanku, berwajah Oriental dan aku menyukai kulitnya yang berwarna pucat seperti kulit orang-orang Jepang . Barangkali belum, karena suatu hari (barangkali) akan
dan benar-benar mengenalnya. Itupun bila alam memberiku kesempatan.Tetapi sejauh ini dia sangat menyenangkan.
Aku ingat pertama kali kami terkoneksi, dia meninggalkan komentar pada puisi saya, “Sudah lama saya tidak melihat gaya majas seperti ini, jadi kangen sekali, dan sangat kreatif. Jadi tertarik banyak belajar di sini”. Setelah itu, entah bagaimana caranya kami bisa berkomunikasi lebih baik dari sebelumnya. Aku lupa. Tiba-tiba saja kami seperti teman yang sudah lama saling kenal. Tak ada hal serius memang. Hal yang benar-benar serius, maksudku. Paling-paling yang kami bicarakan menyangkut apa yang sedang kami kerjakan saat itu. Sisanya, kami gunakan untuk membicarakan landak, kelinci, anjing, kucing, kura-kura, dan hewan lainnya alias percakapan-percakapan amat sangat tidak penting.
Aku ingat pertama kali kami terkoneksi, dia meninggalkan komentar pada puisi saya, “Sudah lama saya tidak melihat gaya majas seperti ini, jadi kangen sekali, dan sangat kreatif. Jadi tertarik banyak belajar di sini”. Setelah itu, entah bagaimana caranya kami bisa berkomunikasi lebih baik dari sebelumnya. Aku lupa. Tiba-tiba saja kami seperti teman yang sudah lama saling kenal. Tak ada hal serius memang. Hal yang benar-benar serius, maksudku. Paling-paling yang kami bicarakan menyangkut apa yang sedang kami kerjakan saat itu. Sisanya, kami gunakan untuk membicarakan landak, kelinci, anjing, kucing, kura-kura, dan hewan lainnya alias percakapan-percakapan amat sangat tidak penting.
Dia seorang dokter, menginjak 32 tahun. Beragama Kristen. Dia menulis
di blog dengan baik. Sangat produktif menulis. Menggunakan Bahasa
Indonesia atau Bahasa Inggris dengan santun. Dan aku pikir, semua orang
akan senang membaca tulisan-tulisannya. Termasuk aku.
Aku membaca tulisannya tiap kali aku online, saking banyaknya tulisan
yang belum aku baca. Tapi, tak apa, bisa aku jadikan menu sarapan, makan siang atau makan malam
jiwa.Hee... Aku susuri semakin jauh tulisan-tulisannya. Aku temukan banyak
momentum. Aku dihadapkan pada realitas-realitas masa lalu juga
kekinian. Dan masuk dalam rumah imajiner yang dia bangun, ibarat menaiki
mesin waktu. Kita akan dibawa kemana saja kita suka. Itulah kenapa aku
suka berlama-lama membaca tulisan-tulisannya. Dia bertutur dengan lugas
dan jujur. Dia mengakui apa saja yang dirasakannya. Dan aku pikir dia
obat terbaik bagi dirinya sendiri.
Kemarin, pagi-pagi aku menangis. Saat itu kami sedang ngobrol via e-mail
seperti biasanya. Aku mendadak memikirkan banyak hal. Aku takut. Ya, Aku takut. Aku takut semua ini berhenti tiba-tiba. Seperti hari-hari
kemarin. Seperti orang-orang kemarin. Seperti mereka yang mengaku
sahabat, teman, saudara, juga kekasih, tetapi menusukku dari belakang dan memfitnahku kemana-mana, bahkan mengkhianatiku. Aku takut, dia tak lagi menyapaku sebelum aku bangun pagi. Aku takut kami tidak bisa bercanda lagi
seperti biasanya.
Dan ditengah-tengah ketakutan aku yang tidak dia ketahui itu, tiba-tiba dia bertanya pada saya “Are you really okay?”.
Ya, aku benar-benar sedang tidak cukup baik. Aku sedang berlinang air
mata. Aku ketakutan. Dan dia satu-satunya orang yang tau sebelum aku
mengatakannya. Tapi, aku tidak menjawab. Sampai akhirnya aku
mengatakan yang sebenarnya meski tidak dengan alasan yang jelas.
Seharian setelah itu, sepanjang hari, kami ngobrol tidak lagi lewat e-mail tetapi lewat sms,
sampai aku tertidur. Dan sampai aku menulis ini. Dia masih menyapa aku sebelum aku bangun pagi. Kami masih bercanda. Dia menelponku.
Dan semuanya baik-baik saja.
Dia.. seperti rumah untuk jiwa.
0 komentar:
Posting Komentar